Sabtu, 13 Oktober 2012

GRATIFIKASI DAN BAGAIMANA MENGENALINYA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


                                            

GRATIFIKASI
DAN BAGAIMANA MENGENALINYA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

  
 PENDAHULUAN

Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Transparency International diunggah dalam Wikipedia). 

Dari data Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perseption Index) tahun 2011 yang diluncurkan lembaga Transparency International, terhadap 183 negara di dunia, Indonesia menempati skor CPI sebesar 3 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 2,8.  Pada skor tersebut, Indonesia berada pada peringkat 100, bersama negara lain yaitu: Argentina, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk Asia Tenggara skor Indonesia berada di bawah Singgapura (9,2), Brunai (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4).

Selanjutnya data Transparency International diunggah dalam Wikipedia (2012) menyatakan bahwa korupsi dapat disebabkan oleh beberapa kondisi yaitu:
1.    Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2.    Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3.    Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
4.    Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5.    Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6.    Lemahnya ketertiban hukum.
7.    Lemahnya profesi hukum.
9.    Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

Kondisi tersebut di atas memberi cambuk pada semua pihak guna bersama-sama berupaya terus mendorong pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dan  salah satunya melalui perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dan pada undang-undang ini istilah gratifikasi diperkenalkan mengingat gratifikasi yang diberikan di bawah permintaan hal tersebut akan berubah menjadi bentuk pemerasan, di samping enam kelompok jenis tindak pidana korupsi lainnya yaitu:
1. kerugian keuangan Negara;
2. suap-menyuap;
3. penggelapan dalam jabatan;
4. pemerasan;
5. perbuatan curang; dan
6.  benturan kepentingan dalam pengadaan

LANDASAN HUKUM GRATIFIKASI

Landasan hukum gratifikasi tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Pasal 12 B ayat:

(1)   Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.  yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2)   Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 12 B Ayat (1) yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Sedangkan pegawai negeri menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 menyatakan, Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, pasal 2 ayat (2) huruf:
a.    Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga pemerintah non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.
b.   Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.

Sedangkan yang dimaksud penyelenggara negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pasal 2 adalah:
1.        Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2.        Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3.        Menteri
4.        Gubernur
5.        Hakim
6.        Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang berlaku yaitu:
a.     Duta Besar
b.    Wakil Gubernur
c.     Bupati/Wali Kota
7.        Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a.    Komisaris, Direksi, Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
b.   Pimpinan BI dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
c.    Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
d.   Pejabat Eselon Satu dan pejabat lain yang disamakan lingkungan sipil, militer, dan kepolisian negara RI
e.    Jaksa
f.     Penyidik
g.    Panitera Pengadilan
h.   Pimpinan dan Bendahara Proyek

Pasal 12 C ayat:

(1)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2)     Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3)     Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4)     Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undangundang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

GRATIFIKASI, HADIAH, SUAP, PEMERASAN, DAN KONFLIK KEPENTINGAN

 Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  istilah gratifikasi, hadiah, suap, pemerasan, dan konflik kepentingan tercantum.  Bagi kalangan umum dengan muculnya Undang-Undang tersebut, kata gratifikasi menjadi sesuatu yang menakutkan mengingat ancaman hukuman baik denda dan hukuman kurungan yang relatif berat.  Namun demikian, jika dicermati dengan baik dan disampaikan dalam cara yang tepat, maka sesungguhnya dengan adanya pengenalan kata gratifikasi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, sesungguhnya merupakan upaya mencegah dan melindungi  pegawai negeri atau penyelenggara negara terjebak dalam tindak pidana korupsi, mengingat gratifikasi dalam arti pemberian yang didasari atas permintaan merupakan sebuah perbuatan pemerasan. 

Selanjutnya pada Pasal 12 C ayat (1) menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi, maka perlu kiranya diatur pelaporan gratifikasi, yang selanjutnya dipilah gratifikasi dalam kedinasan dan gratifikasi yang mengarah pada suap atau pemerasan.

Secara sederhana hubungan antara hadiah (legal/normal tanpa tendensi dan tidak berhubungan dengan jabatan), gratifikasi (gratification), suap (bribe), pemerasan, dan konflik kepentingan dapat digambarkan pada bagan berikut. 




 

Bagan 1. Hubungan Hadiah, Gratifikasi, Suap, Pemerasan, dan Konflik Kepentingan

Guna lebih memahami dan memaknai gratifikasi, hadiah, suap, pemerasan, dan konflik kepentingan, berikut ulasan kata tersebut.

1.    Gratifikasi

Seperti tersebut pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12 B Ayat (1) "gratifikasi" didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Lambok H.Hutaruk,  dalam makalahnya berjudul Gratifikasi dan Anti Korupsi (2007) menuliskan bahwa istilah gratifikasi sendiri sesungguhnya berasal dari Bahasa Belanda, gratifikatie yang kemudian diadopsi menjadi kata dalam Bahasa Inggris yang berarti hadiah.  Selanjutnya Indriyanto Senoadji menulis bahwa, “istilah gratifikasi yang dalam bahasa Inggris disebut gratification adalah istilah yang muncul di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa kontinental. Istilah gratification muncul karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery),” sebelumnya gratification (gratifikasi) lebih banyak dikenal sebagai gift atau pemberian (dalam Bahasa Indonesia).  Gratifikasi dalam beberapa kamus hukum diartikan “A reward given voluntarily for  some service or benefit rendered, without being requested to do so, either expressly or by implication” (sebuah hadiah yang diberikan secara sukarela untuk suatu layanan atau manfaat yang diperoleh, tanpa diminta untuk melakukannya, baik secara tegas atau tersirat), atau “A recompence or reward for services or benefits, given voluntarily, without solicitation or  promise (kompensasi atau imbalan atas jasa atau manfaat, diberikan secara sukarela, tanpa ajakan atau janji.

Gratification (gratifikasi) merupakan bentuk khusus dari  gift (pemberian), yang membedakan antara gratifikasi dan pemberian adalah latar belakangnya. Perpindahan sesuatu barang atau uang dari pemberi kepada penerima yang dilatarbelakangi oleh keuntungan yang didapat oleh pemberi walau barang atau uang yang diberikan bukan hal yang diperjanjikan atau dipersyaratkan terlebih dahulu adalah gratifikasi, sedangkan gift atau hadiah tidak dilatarbelakangi oleh sesuatu.

Meskipun telah banyak penjelasan tentang makna gratifikasi, namun demikian pembedaan gratifikasi dengan hadiah, pemerasan, atau bahkan suap masih cukup membingungkan.  Definisi yang disampaikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12 B Ayat (1) sendiri belum memberikan batasan yang jelas atau belum memberikan parameter yang jelas,  tetapi pesan yang disampaikan cukup jelas agar pegawai negeri dan pejabat negara menghindari perbuatan yang berujung pada tindak pidana korupsi melalui pengendalian perilaku lebih awal.

Sebagai contoh sederhana tentang bentuk gratifikasi, adalah penerimaan uang dalam jumlah tertentu atau dalam periode tertentu dari audite sebelum atau setelah pelaksanaan audit selesai atau pemberian barang dalam nilai tertentu  dari seorang staf kepada atasannya dan lain-lain.

Selanjutnya pada bahasan bab berikut akan dijelaskan lebih lanjut beberapa usulan contoh parameter tentang gratifikasi yang mengarah pada suap atau bukan, mengingat setiap lembaga/institusi memiliki standar nilai yang berbeda karena memiliki kondisi yang berbeda.

2.    Hadiah

Seperti telah disinggung pada bahasan di atas tentang gratifikasi, hadiah dapat berujung menjadi sebuah gratifikasi, bahkan pemerasan atau suap.  Meskipun pemberian yang “normal”, di bawah batasan yang telah ditetapkan, jika berulang dalam jangka waktu tertentu dapat berpotensi menjadi gratifikasi.

Hadiah sendiri dari beberapa literatur dan kamus diartikan sebagai: “A voluntary transfer of property from one person or entity to another made without charge or consideration” (transfer sukarela properti dari satu orang atau badan yang lain dibuat tanpa biaya atau pertimbangan), atau A transfer of property with nothing given inreturn” (sebuah pengalihan harta tanpa pengembalian)

Namun demikian, jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 12 B Ayat (1), maka selama pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya maka pemberian tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi.

Oleh karenanya setiap pemberian seperti disinggung pada pembahasan tentang gratifikasi, perlu dicermati latar belakangnya.

Sebagai contoh pemberian hadiah yang bukan gratifikasi, adalah menerima oleh-oleh (barang) dari saudara, atau tetangga yang tidak memiliki hubungan pekerjaan/jabatan.

3.    Konflik Kepentingan

Seperti yang tercantum pada buku saku memahami gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2010, konflik kepentingan didefinisikan sebagai situasi dimana seseorang Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.

Konflik kepentingan sendiri jika dicermati merupakan sintom dari penerimaan gratifikasi. Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini antara lain adalah:
1.  Penerimaan gratifikasi dapat membawa vested interest dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu;
2. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian profesional penyelenggara negara;
3.    Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi; dan lain-lain.

Sebagai contoh adanya konflik kepentingan yaitu, manakala panitia lelang menerima gratifikasi yang cenderung mengarah pada suap atau pemerasan yang berakibat adanya tindakan panitia lelang menjadi tidak obyektif dalam proses evaluasi.

4.    Pemerasan

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 Pemerasan adalah tindakan dengan maksud untuk menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melanggar hukum. Memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan sesuatu barangnya atau orang ketiga atau supaya dia mengutang atau menghapus piutang.  Selanjutya dalam Pasal 368 ayat (2) KUHP secara luas pemerasan adalah tindakan melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau pencurian yang didahului disertai kekerasan atau ancaman kekerasan, baik diambil sendiri oleh tersangka maupun penyerahan barang oleh korban.

Seperti telah disinggung pada bahasan sebelumnya, secara sederhana gratifikasi yang diberikan, didasarkan atas permintaan adalah pemerasan.

Sebagai contoh: permintaan seorang auditor meminta uang kepada audite dengan ancaman jika tidak dipenuhi akan mengungkapkan temuan yang berindikasi kerugian negara atau permintaan uang kepada auditan dengan imbalan merubah temuan kerugian negara menjadi temuan administratif.

5.    Suap

Kata suap dalam kamus Inggris disebut bribe yang bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah ’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan). Dalam Bahasa Latin disebut briba, yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ (alms), ’blackmail’, atau ’extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup), Andryawal blocspot.com, 2011.

Pemaknaan suap sering dikaitkan dengan gratifikasi, sehingga sering gratifikasi dianggap sebagai suap, lebih tepatnya gratifikasi yang cenderung dilatarbelakangi oleh niatan pemberi untuk memperoleh keuntungan.

Dalam beberapa literatur dan kamus hukum asing dijelaskan pengertian suap (bribe), sebagai berikut :

a.    Law dictionary. Bribe :

The gift or promise, which is accepted, of some advantage, as the inducement for some illegal act or omission; or of some illegal as the inducement  for some illegal act or omission; or of some illegal emolument, as a consideration, for preferring one person to another, in the performance of illegal act.

Karunia atau janji, yang diterima, dari beberapa keuntungan, sebagai pancingan untuk beberapa tindakan ilegal atau kelalaian, atau beberapa ilegal sebagai pancingan untuk beberapa tindakan ilegal atau kelalaian, atau beberapa honor ilegal, sebagai pertimbangan, untuk lebih memilih satu orang ke orang lain, dalam kinerja tindakan ilegal

b.   Merriam-Webster's Dictionary of Law. Bribe:

“A benefit (as money) given, promised, or offered in order to influence the judgement or conduct of a person in a position of trust (as an official or witness)”

Keuntungan (seperti uang) yang diberikan, dijanjikan, atau ditawarkan untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan seseorang dalam posisi dapat dipercaya (saksi).

c.    Nolo’s Encyclopedia. Bribe :

“Official commits an illegal act that interferes with the performance of his or her duties. For example, an elected official who accepts a bribe in exchange for political favors has committed malfeasance”

Pejabat  melakukan perbuatan ilegal yang mengganggu kinerjanya atau tugasnya. Misalnya, seorang pejabat terpilih yang menerima suap dengan imbalan bantuan politik telah melakukan penyimpangan

d.   Bouvier’s law dictionary. Bribery :

The receiving or offering any undue reward by or to any personwhomsoever, whose ordinary profession or business relates to the adminis-tration of public justice, in order to influence his behaviour in office, and toincline him to act contrary to his duty and the known rules of honesty and integrity.

Menerima atau menawarkan hadiah apapun yang tidak semestinya oleh atau kepada siapapun orang, yang biasa profesi atau bisnis berkaitan dengan administrasi peradilan umum, untuk mempengaruhi perilaku di kantor, dan membuatnya cenderung bertindak bertentangan dengan tugas dan aturan yang dikenal kejujuran dan integritas


LANGKAH-LANGKAH MENGENALI GRATIFIKASI DAN BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN GRATIFIKASI YANG DITERIMA?

Pada bab sebelumnya, telah dibahas apa yang dimaksud dengan gratifikasi, hadiah, suap, pemerasan dan konflik kepentingan.  Pada penjelasan tersebut, terlihat gratifikasi merupakan pintu terjadinya konflik kepentingan yang dapat menjadikan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi berupa suap dan pemerasan.  Oleh karenanya berikut adalah langkah-langkah yang dapat digunakan untuk mengenali sesuatu pemberian merupakan gratifikasi atau bukan, sebelum sebuah organisasi memiliki standar nilai atau kode etik yang disepakati.

Berikut adalah hal-hal yang perlu dicermati dalam mengenali sebuah pemberian yang mengarah pada gratifikasi.
1.    Kenali atau ketahui latar belakang/motif pemberian tersebut!
2.    Bagaimana cara pemberian dilakukan? Pemberian yang dilakukan secara tidak terbuka dan diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, perlu diwaspadai.  Hal ini berbeda jika pemberian yang dilakukan kepada semua pihak sebagai contoh pada kegiatan di hotel, dimana hotel memberikan suvenir kepada peserta kegiatan, atau pemberian diskoun yang dilakukan oleh wara laba, hotel, dan sebagainya.
3.    Berapa nilai pemberian tersebut? Pada kondisi ini pemberian yang berulang-ulang pada periode tertentu dalam jumlah yang relatif kecil perlu dicermati.
4.    Siapa yang memberi? Dalam kondisi ini pemberian yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan setara, atau lebih rendah perlu dicermati! Sebagai contoh pemberian oleh rekanan, bawahan kepada atasan, dan lain-lain
5.    Pelajari/cermati apakah pihak pemberi memiliki hubungan dalam hal pekerjaan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan?

Namun demikian, harus dipahami pula bahwa ada tiga sudut penilaian atas penerimaan hadiah yang dapat menjadikannya sebagai gratifikasi, yaitu dari penerima, pemberi, dan masyarakat.  Ketiga sudut penilaian tersebut dapat digambarkan dalam segi tiga gratifikasi seperti di bawah ini.


Bagan 2. Segi tiga  penilaian gratifikasi.

Dari bagan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika seseorang menerima hadiah baik berbentuk barang atau uang, maka pertama yang harus dilakukan adalah menilai dari sudut diri sendiri atau pribadi apakah barang tersebut terkait dengan jabatan, akan mempengaruhi keputusan atau independensi (menimbulkan conflict of interest), diatur dalam kode etik, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian langkah berikutnya adalah kita harus mengetahui latar belakang mengapa pemberi memberikan barang/uang tersebut kepada kita. Penilaian dari sudut pemberi relatif lebih sulit, tetapi penerima dapat menanyakan kepada pemberi alasan yang bersangkutan memberikan barang/uang tersebut. Selanjutnya langkah terakhir adalah menilai dari sudut masyarakat, yaitu apakah pemberian tersebut menurut pandangan masyarakat adalah wajar, sebagai contoh: penerimaan atas jasa pelayanan (uang tip), masyarakat yang melihatnya akan mengatakan itu sebuah pungutan, yang berakibat pada diskriminasi pelayanan.  Ketiga sudut penilaian ini harus terpenuhi, meskipun suatu pemberian atau penerimaan dari sudut penilaian pribadi dan sudut penilaian pemberi disimpulkan tidak ada unsur yang mengarah pada gratifikasi, namun jika penilaian dari sudut pandang masyarakat dapat menimbulkan hal-hal yang negatif maka penerimaan atau pemberian tersebut adalah ditolak.

Jika kita dapat mengenali pemberian yang dilakukan, kini bagaimana kita memberlakukan pemberian yang telah kita terima, (meskipun sebaiknya setiap pemberian yang diragukan apakah merupakan gratifikasi atau tidak adalah “ditolak”).

Seperti dinyatakan pada Pasal 12 C ayat (1) dan (2), maka gratifikasi yang diterima wajib dilaporkan guna menghilangkan unsur pidananya.  Jika sesuatu kementerian/lembaga telah memiliki Unit Pengendali Gratifikasi (UPG), maka pelaporan dapat dilakukan melalui UPG yang ada, tetapi jika belum maka pelaporan tentang gratifikasi dilakukan langsung pada pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan cara mengisi formulir gratifikasi yang dapat diunduh dari web site KPK.

Berikut adalah formulir pelaporan gratifikasi yang di unduh dari web site KPK.



Selanjutnya dalam waktu kurang dari 30 hari maka Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan status gratifikasi menjadi milik negara atau menjadi milik penerima gratifikasi.  Dalam upaya menetapkan status gratifikasi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengundang penerima gratifikasi dalam rangka mengumpulkan informasi lebih detail.  Pada akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.

BAGAIMANA MEMBANGUN PROGRAM  PENGENDALIAN GRATIFIKASI?

Program pengendalian gratifikasi merupakan upaya pencegahan tindak pidana korupsi melalui pengendalian gratifikasi.  Melalui program pengendalian gratifikasi, maka proses pelaporan gratifikasi dapat dilakukan melalui kementerian/lembaga yang melaksanakannya.  Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan dalam membangun program pengendalian gratifikasi adalah sebagai berikut:

1.    Menyusun tata nilai/standar nilai

Tata nilai/standar nilai dalam organisasi, tidak lepas dari upaya mewujudkan visi dan misi organisasi dan tana nilai suatu organisasi adalah spesifik untuk organisasi tersebut. Bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan hasil penyusunan Renstra Jangka Panjang Kementerian Tahun 2005-2025, tata nilai terdiri dari imput value dan proces value yang meliputi:
a.    Imput Value (Staf) : amanah, profesional dan percaya diri, antusias dan bermotivasi tinggi, betanggung jawab, kreatif, disiplin, dan peduli
b.    Proses Value (Kepemimpinan dan Manajemen): visioner dan berwawasan,  menjadi teladan, memotivasi, mengilhami, memberdayakan, membudayakan, taat azas, koordinatif dan bersinergi dalam kerangka kerja tim, dan akuntabel

Selanjutnya melalui proses identifikasi berbagai aktifitas dalam organisasi yang terkait dengan tata nilai yang dibangun, maka dapat disusun standar perilaku yang terdiri atas aktifitas, kriteria yang menjelaskan standar nilai yang dapat ditolak atau diterima, serta hukuman atas pelanggaran tata nilai tersebut.
2.    Menyusun Kode Etik

Kode Etik atau dalam Bahasa Inggris disebut a code of etic atau code of condust, adalah suatu dokumen formal yang mengatur perilaku yang diharapkan pada suatu organisasi dan orang yang berkerja dalam organisasi tersebut.

Kode etik sangat diperlukan:
a.    Menentukan perilaku yang diterima atau tidak.
b.   Mempromosikan standar yang tinggi dari praktek atas perilaku
c.    Menyediakan patokan bagi anggota dalam melakukan evaluasi diri.
d.   Membangun kerangka kerja perilaku profesional dan bertanggung jawab.
e.    Sebagai kendaraan untuk identitas pekerja
f.     Sebagai suatu tanda kematangan/kedewasaan pekerja.

Selanjutnya beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun dan mengembangkan kode etik adalah:

1)      Libatkan karyawan dalam penyusunan kode etik, dapat melalui perwakilan atau dengan metode uji publik.
2)      Konsultasikan kode etik yang disusun dengan pemangku kepentingan melalui proses “sanctioning
3)      Fokus pada praktek operasi/bisnis dan isu-isu spesifik sebagai contoh: menghindari konflik kepentingan.
4)      Mensosialisasikan atau melatihkan kode etik yang disusun melalui seminar, pelatihan atau bentuk pertemuan lainnya.
5)      Membangun kesadaran pelaporan pelanggaran etik secara terbuka.
6)      Menindaklanjuti setiap pelanggaran etika yang ditemukan.
7)      Tidak ada seseorangpun berada di atas kode etik, ini berarti kode etik diberlakukan untuk semua orang dalam organisasi.

3.    Membangun Unit Pengendali Gratifikasi  

Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) adalah unit yang melaksanakan program pengendalian gratifikasi pada Kementerian/Lembaga.  Sampai saat ini belum ada standar baku terkait dengan pembentukan organisasi ini. Oleh karenanya dalam membentuk organisasi ini perlu dipertimbangkan beberapa faktor, agar UPG dapat berperan dan bekerja secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya. 

Organisasi/struktur organisasi.   Struktur yang terlalu rumit akan mempersulit dan memperlambat kerja UPG, oleh karenanya struktur yang sederhana tetapi dapat mewakili kepentingan tugas dan pekerjaan yang diperlukan sangat diharapkan.  Ketua tim dengan beberapa anggota tim sebagai tim UPG dan didukung sekretariat UPG merupakan struktur yang cukup optimal. Demikian pula dengan posisi dimana UPG berada,  penempatan UPG di bawah langsung level ke dua dalam organisasi perlu dipertimbangkan sehubungan dengan independensinya.  Penempatan UPG di bawah pimpinan tertinggi organisasi (bertanggungjawab langsung pada pimpinan tertinggi organisasi) merupakan pilihan terbaik meskipun dalam kegiatan kesekretariatannya dapat ditempatkan pada level kedua atau ketiga dalam organisasi.

Sumber Daya Manusia (SDM) UPG.  Pemilihan, cara pemilihan, jumlah orang, dan syarat orang yang menduduki jabatan dalam TIM UPG perlu diperhatikan dan dirancang dengan cermat.  Pemilihan secara terbuka kepada yang berminat dengan syarat tertentu atau penunjukan oleh pimpinan terhadap orang-orang yang memiliki syarat tertentu dapat dilakukan.  Namun demikian, perlu ada syarat-syarat tertentu yang perlu ditetapkan untuk menjadi tim UPG agar tim dapat bekerja secara baik.  Beberapa syarat yang mungkin dapat dipertimbangkan yaitu:
a. Memiliki integritas (integrity) yaitu bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya. Dengan kata lain, “satunya kata dengan perbuatan”. Mengkomunikasikan maksud, ide dan perasaan secara terbuka, jujur dan langsung sekalipun dalam negosiasi yang sulit dengan pihak lain.  Indikator terhadap kata integritas adalah: memahami dan mengenali perilaku sesuai dengan kode etik, melakukan tindakan konsisten dengan nilai dan keyakinannya, bertindak berdasarkan nilai meskipun sulit untuk melakukannya, dan bertindak berdasarkan nilai (values) walaupun ada resiko atau biaya yang cukup besar.
b.  Tidak memiliki jabatan rangkap (tidak sedang memimpin jabatan struktural atau jabatan tambahan lain).
c.       Tidak pernah memperoleh hukuman sedang s.d berat sesuai dengan Peraturan Kepegawaian yang berlaku.
d.      Dan lain-lain

Sedangkan jumlah personil dalam suatu tim UPG hendaknya ganjil sehingga dalam pengambilan keputusan lebih mudah dan jumlahnya disesuaikan dengan besaran organisasi yang dikelola.

Mekanisme kerja.  Mekanisme kerja terkait dengan mekanisme pelaporan gratifikasi yang dilakukan melalui UPG, telah ditetapkan oleh KPK.  Meskipun demikian mekanisme kerja terkait dengan pelaporan gratifikasi tersebut perlu di dokumentasikan dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP).  Demikian pula dengan mekanisme kerja di dalam internal tim UPG dan hubungannya dengan kesekretariatan perlu disusun SOP nya, mengingat hal ini dapat menjadi pegangan dan melindungi tim UPG dalam bekerja.

Fasilitas UPG dan Pembiayaan.  Fasilitas UPG merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang pelaksanaan operasional UPG. Fasilitas bagi bagian kesekretariatan UPG adalah penting, meliputi ruang ketatausahan, ruang rapat dan fasilitas informasi teknologi (IT).  Sedangkan untuk pembiayaan, perlu ada pos khusus dalam jumlah yang memadai untuk dapat digunakan dalam kegiatan operasional dan pengembangan UPG.
  
4.    Mengoperasionalkan Program Pengendalian Gratifikasi

Kegiatan operasional program pengendalian gratifikasi, tidak hanya merupakan kegiatan melaporkan penerimaan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi yang lebih penting adalah melakukan kegiatan-kegiatan mensosialisasikan standar etik atau kode etik yang menjadi kesepakatan dalam organisasi. 

Melalui kegiatan seminar, lokakarya, atau pelatihan, maka standar perilaku dan etika yang telah ditetapkan dan disepakati dalam buku kode etik disosialisasikan.  Di samping itu perlu diupayakan membangun munculnya kesadaran setiap karyawan/pegawai melaporkan atas pelanggaran etika yang terjadi, dan tindak lanjutnya dapat segera dilaksanakan tanpa pandang bulu.

5.    Melakukan evaluasi berkesinambungan

Evaluasi atas kegiatan UPG merupakan kegiatan penting guna mengukur tingkat keberhasilan program UPG yang dilakukan dalam sebuah kementerian/lembaga.  Evaluasi tengah tahun dan akhir tahun lazim dilakukan dalam sebuah organisasi.  Lebih jauh evaluasi juga dilakukan untuk mengukur tingkat kesadaran pegawai dalam pelaporan dan pengendalian atas gratifikasi.

Guna mendukung kegiatan ini, maka tool/perangkat evaluasi perlu dibuat dengan baik agar dapat menjaring data-data yang diperlukan. Perangkat evaluasi yang tidak valid dapat mengacaukan pengambilan kesimpulan.
  
6.    Melakukan pengembangan Program Pengendalian Gratifikasi  

Sebagai organisasi yang dinamis, maka UPG tidak hanya melakukan pekerjaan rutinitas saja, tetapi perlu terus menerus mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. 

Pengembangan sistem pelaporan gratifikasi atau pelanggaran atas kode etik perlu terus menerus dikembangkan. Pelaporan yang mudah dan cepat dengan mengembangkannya melalui informasi dan teknologi merupakan pilihan yang baik.

Upaya membangun motor penggerak integritas juga merupakan langkah yang baik guna memacu tumbuhnya integritas dalam setiap pegawai.

Di samping bentuk pengembangan tersebut di atas, maka bentuk kegiatan dalam upaya peningkatan peran dan fungsi UPG, perlu terus dilakukan melalui tim pengembang UPG.


BENTUK PEMBERIAN
YANG PERLU DICERMATI MERUPAKAN
GRATIFIKASI ATAU BUKAN

Sesuatu pemberian merupakan gratifikasi atau bukan sangat ditentukan dengan latar belakang pemberiannya.  Namun demikian menyatakan bahwa pemberian merupakan gratifikasi atau bukan juga didasarkan pada standar nilai yang dibangun dalam sebuah organisasi.  Hal ini menunjukkan bahwa suatu gratifikasi pada organisasi/lembaga tertentu belum tentu juga merupakan gratifikasi lembaga lainnya.  Pada kondisi ini sebagai contoh: menerima honor sebagai nara sumber merupakan gratifikasi bagi organisasi/lembaga “A” (karena single budget), tetapi dengan kondisi diterima sesuai Standar Biaya Umum adalah bukan gratifikasi.

Landasan untuk menentukan suatu pemberian atau penerimaan dikategorikan gratifikasi atau bukan pada umumnya adalah:
1.        Tidak bertentangan dengan tugas dan kewajiban.
2.        Tidak melanggar jabatan.
3.        Kegiatan memang ada/terjadi.
4.        Tidak melanggar Standar Biaya Umum.
5.        Tidak melanggar kode etik.

Berikut, beberapa bentuk penerimaan di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang perlu dipertimbangkan apakah gratifikasi atau bukan, atau bahkan mengarah pada suap dan pemerasan.

NO
BENTUK PEMBERIAN/PENERIMAAN
STATUS/
PENGECUALIAN
1
2
3
1.
Pemberian oleh-oleh dari daerah atau luar negeri dari bawahan kepada atasan
Dibatasi dalam nilai tertentu
2.
Pemberian buah-buahan atau karangan bunga dari bawahan kepada atasan ketika sakit, atau menduduki jabatan tertentu.
Dibatasi dalam nilai tertentu
3.
Pemberian uang ucapan terima kasih dari audite atau unit kerja yang dimonitor/dipantau
Tidak ada pengecualian mrpk Gratifikasi/suap
4.
Penggunaan fasilitas dinas di daerah, baik untuk transportasi atau penginapan
Untuk transpor dalam jam kerja dimungkinkan, sedangkan penginapan membayar sesuai dengan tarif.
5.
Menerima honor sebagai nara sumber atau honor rapat
Dapat diterima selama sesuai dengan Standar Biaya Umum
6.
Uang yang diberikan oleh rekanan baik sebelum maupun sesudah lelang
Tidak ada pengecualian, mrpk Gratifikasi
7.
Barang yang diberikan oleh pihak ke tiga atas transaksi yang dilakukan
Digunakan untuk kepentingan organisasi
8.
Pemberian tiket pesawat atau pembayaran hotel oleh audite atau unit kerja yang dipantau/dimonev
Tidak ada pengecualian, mrpk Gratifikasi
9.
Pemberian uang, fasilitas hotel, tiket pesawat atas dasar permintaan
Gratifikasi yang mengarah pada pemerasan/suap
10.
Penerimaan oleh-oleh dari tetangga yang memiliki hubungan pekerjaan/jabatan
Dibatasi dalam nilai tertentu
11.
Pengobatan Cuma-cuma
Dibatasi pada poliklinik (askes)
12.
Pemberian kado perkawinan/ulang tahun oleh rekanan atau bawahan atau rekan kerja yang memiliki hubungan kerja
Dibatasi dalam nilai tertentu
13.
Penerimaan uang atas pelayanan: perijinan, penyesuaian ijasah luar negeri, dan lain-lain sejenis
Merupakan gratifikasi kecuali telah ditetapkan tarifnya
14.
Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai negeri pada saat kunjungankerja
Gratifikasi, kecuali ditetapkan dalam nilai tertentu
15.
Pemberian kendaraan bermotor tanda perkenalan jabatan baru
Gratifikasi
16.
Fasilitas wisata (hotel, transportasi/tiket) dari rekanan kepada keluarga
Gratifikasi
17.
Penerimaan hadiah atas prestasi dalam kegiatan di kantor
Bukan gratifikasi, dapat diterima
18.
Door price/hadiah dalam suatu kegiatan
Bukan gratifikasi, dapat diterima
19.
Plakat, vandel, souvenir, goody dari panitia seminar, lokakarya, workshop, dan lain-lain
Bukan gratifikasi, dapat diterima
20.
Diskon komersial yang berlaku umum
Bukan gratifikasi, dapat diterima
21.
Kompensasi atas profesi sebagai contoh royalti, dan sebagainya
Bukan gratifikasi, dapat dinikmati
22.
Keuntungan yang berlaku umum atas penempatan dana seperti bunga bank, deposito, saham, dll
Bukan gratifikasi
23.
Makanan dan minuman siap saji yang berlaku umum dalam kedinasan
Bukan gratifikasi
24.
Makan malam, karaoke, dan hiburan sejenis yang dibiayai audite atau satuan kerja yang dimonitor/dipantau/dikunjungi
Gratifikasi
25.
Dan lain-lain



RUJUKAN

1.        Andryawal S. 2011. Pengertian Suap dan Tindak Pidananya. Andryawal.blocspot.com
2.        Buku Saku Memahami Gratifikasi, tahun 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi.
3.        Creating Code of Etic, B Corporation net, tahun 2007
4.        Gift-The 'Lectric Law Library's Lexicon, lectlaw.com
5.        Gift-Duhaime Dictionary, duhaime.org 
6.        Gratification-Law dictionary, law-dictionary.org 
7.        Gift-Merriam-Webster's Dictionary of Law, Merriam-Webster Incorporated,1996 
8.        Gratification-Bouvier’s Law Dictionary, www.constitution.org 
9.        Gratification-Black’s Law Dictionary
10.    Indriyanto Senoadji, Masalah Korupsi di Indonesia, jodisantoso.blogspot.com, 11 Juli 2007.
11.    Lambok H.Hutaruk, Gratifikasi dan Anti Korupsi, disampaikan pada Workshop on Business Ethics “Managing Ethical Dilemma on Facilitating Payments”, Jakarta, 30 Januari 2007.
12.    Notulen Hasil Workshop Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kementerian Pendidikan Nasional, Hotel Park, Jakarta, tahun 2012.
13.    Pedoman Konflik Kepentingan/Conflic of Interest (COI), Pertamina, tahun 2009.
14.    Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi







Tidak ada komentar:

Posting Komentar