GRATIFIKASI
DAN BAGAIMANA MENGENALINYA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PENDAHULUAN
Korupsi
berasal dari bahasa latin yaitu: corruptio
dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus/politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Transparency International diunggah dalam Wikipedia).
Dari data Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perseption
Index) tahun 2011 yang diluncurkan lembaga Transparency International, terhadap
183 negara di dunia, Indonesia menempati skor CPI sebesar 3 dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar 2,8. Pada skor
tersebut, Indonesia berada pada peringkat 100, bersama negara lain yaitu:
Argentina, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome
& Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk Asia Tenggara skor
Indonesia berada di bawah Singgapura (9,2), Brunai (5,2), Malaysia (4,3), dan
Thailand (3,4).
Selanjutnya data Transparency International diunggah
dalam Wikipedia (2012) menyatakan bahwa korupsi dapat disebabkan oleh beberapa
kondisi yaitu:
1. Konsentrasi kekuasaan di
pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat,
seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2.
Kurangnya
transparansi di pengambilan keputusan
pemerintah
3.
Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
4.
Proyek
yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5.
Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6.
Lemahnya
ketertiban hukum.
7.
Lemahnya
profesi hukum.
8.
Kurangnya
kebebasan berpendapat atau
kebebasan media massa.
9.
Gaji pegawai
pemerintah yang sangat kecil.
Kondisi tersebut di atas memberi cambuk pada semua pihak
guna bersama-sama berupaya terus mendorong pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme dan salah satunya melalui perubahan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dan
pada undang-undang ini istilah gratifikasi diperkenalkan mengingat gratifikasi yang diberikan di bawah
permintaan hal tersebut akan berubah menjadi bentuk pemerasan, di samping enam kelompok jenis tindak pidana korupsi
lainnya yaitu:
1. kerugian keuangan Negara;
2. suap-menyuap;
3. penggelapan dalam jabatan;
4. pemerasan;
5. perbuatan curang; dan
6. benturan kepentingan dalam pengadaan.
LANDASAN HUKUM GRATIFIKASI
Landasan hukum gratifikasi tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 12 B ayat:
(1) Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana
bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Selanjutnya berdasarkan penjelasan
Pasal 12 B Ayat (1) yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Sedangkan pegawai negeri menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 menyatakan, Pegawai Negeri adalah setiap
warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999, pasal 2 ayat (2) huruf:
a.
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat
adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga pemerintah
non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi
Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau
dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.
b.
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Daerah
adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah,
atau dipekerjakan di luar instansi induknya.
Sedangkan yang dimaksud penyelenggara
negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pasal 2
adalah:
1.
Pejabat Negara pada
Lembaga Tertinggi Negara
2.
Pejabat Negara pada
Lembaga Tinggi Negara
3.
Menteri
4.
Gubernur
5.
Hakim
6.
Pejabat Negara yang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang berlaku yaitu:
a. Duta Besar
b. Wakil Gubernur
c. Bupati/Wali Kota
7.
Pejabat lain yang memiliki
fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a. Komisaris, Direksi, Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
b. Pimpinan BI dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional
c. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
d. Pejabat Eselon Satu dan pejabat lain yang disamakan
lingkungan sipil, militer, dan kepolisian negara RI
e. Jaksa
f. Penyidik
g. Panitera Pengadilan
h. Pimpinan dan Bendahara Proyek
Pasal 12 C ayat:
(1)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)
Penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
(3)
Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik
penerima atau milik negara.
(4)
Ketentuan mengenai tata
cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan
status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undangundang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
GRATIFIKASI,
HADIAH, SUAP, PEMERASAN, DAN KONFLIK KEPENTINGAN
Dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah gratifikasi, hadiah, suap, pemerasan,
dan konflik kepentingan tercantum. Bagi
kalangan umum dengan muculnya Undang-Undang tersebut, kata gratifikasi menjadi
sesuatu yang menakutkan mengingat ancaman hukuman baik denda dan hukuman
kurungan yang relatif berat. Namun
demikian, jika dicermati dengan baik dan disampaikan dalam cara yang tepat,
maka sesungguhnya dengan adanya pengenalan kata gratifikasi dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, sesungguhnya merupakan upaya mencegah dan
melindungi pegawai negeri atau
penyelenggara negara terjebak dalam tindak pidana korupsi, mengingat
gratifikasi dalam arti pemberian yang didasari atas permintaan merupakan sebuah
perbuatan pemerasan.
Selanjutnya pada Pasal 12 C ayat (1) menyatakan bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya
pencegahan tindak pidana korupsi, maka perlu kiranya diatur pelaporan
gratifikasi, yang selanjutnya dipilah gratifikasi dalam kedinasan dan
gratifikasi yang mengarah pada suap atau pemerasan.
Secara sederhana hubungan
antara hadiah (legal/normal tanpa tendensi dan tidak berhubungan dengan jabatan),
gratifikasi (gratification), suap (bribe), pemerasan, dan konflik kepentingan
dapat digambarkan pada bagan berikut.
|
||||||
Bagan
1. Hubungan Hadiah, Gratifikasi, Suap, Pemerasan, dan Konflik Kepentingan
Guna lebih memahami dan
memaknai gratifikasi, hadiah, suap, pemerasan, dan konflik kepentingan, berikut
ulasan kata tersebut.
1.
Gratifikasi
Seperti
tersebut pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12 B Ayat (1) "gratifikasi" didefinisikan sebagai
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Lambok H.Hutaruk,
dalam makalahnya
berjudul Gratifikasi dan Anti Korupsi (2007)
menuliskan bahwa istilah gratifikasi sendiri sesungguhnya berasal
dari Bahasa Belanda, gratifikatie yang kemudian diadopsi menjadi kata
dalam Bahasa Inggris yang berarti hadiah. Selanjutnya Indriyanto Senoadji
menulis bahwa, “istilah gratifikasi yang dalam bahasa Inggris disebut gratification adalah istilah yang muncul
di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa kontinental.
Istilah gratification muncul karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery),” sebelumnya gratification (gratifikasi) lebih banyak
dikenal sebagai gift atau
pemberian (dalam Bahasa Indonesia). Gratifikasi
dalam beberapa kamus hukum diartikan “A reward given voluntarily
for some service or benefit rendered, without being requested to do
so, either expressly or by implication” (sebuah hadiah
yang diberikan secara sukarela untuk suatu layanan atau manfaat yang diperoleh,
tanpa diminta untuk melakukannya, baik secara tegas atau tersirat), atau “A recompence or reward for services or
benefits, given voluntarily, without solicitation or promise” (kompensasi atau imbalan atas jasa atau manfaat, diberikan secara sukarela,
tanpa ajakan atau janji.
Gratification
(gratifikasi) merupakan bentuk khusus dari gift (pemberian), yang membedakan antara gratifikasi dan
pemberian adalah
latar belakangnya. Perpindahan sesuatu barang atau uang dari pemberi
kepada penerima yang dilatarbelakangi
oleh keuntungan yang didapat oleh pemberi walau barang atau uang yang diberikan
bukan hal yang diperjanjikan atau dipersyaratkan terlebih dahulu adalah
gratifikasi, sedangkan gift atau
hadiah tidak dilatarbelakangi oleh sesuatu.
Meskipun telah banyak penjelasan
tentang makna gratifikasi, namun demikian pembedaan gratifikasi dengan hadiah,
pemerasan, atau bahkan suap masih cukup membingungkan. Definisi yang disampaikan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12 B Ayat (1) sendiri
belum memberikan batasan yang jelas atau belum memberikan parameter yang jelas, tetapi pesan yang disampaikan cukup jelas
agar pegawai negeri dan pejabat negara menghindari perbuatan yang berujung pada
tindak pidana korupsi melalui pengendalian perilaku lebih awal.
Sebagai contoh sederhana tentang bentuk
gratifikasi, adalah penerimaan uang dalam jumlah tertentu atau dalam periode
tertentu dari audite sebelum atau setelah pelaksanaan audit selesai atau
pemberian barang dalam nilai tertentu dari
seorang staf kepada atasannya dan lain-lain.
Selanjutnya pada bahasan bab berikut akan
dijelaskan lebih lanjut beberapa usulan contoh parameter tentang gratifikasi
yang mengarah pada suap atau bukan, mengingat setiap lembaga/institusi memiliki
standar nilai yang berbeda karena memiliki kondisi yang berbeda.
2.
Hadiah
Seperti
telah disinggung pada bahasan di atas tentang gratifikasi, hadiah dapat berujung
menjadi sebuah gratifikasi, bahkan pemerasan atau suap. Meskipun pemberian yang “normal”, di bawah
batasan yang telah ditetapkan, jika berulang dalam jangka waktu tertentu dapat
berpotensi menjadi gratifikasi.
Hadiah
sendiri dari beberapa literatur dan kamus diartikan sebagai: “A voluntary transfer of
property from one person or entity to another made without charge
or consideration” (transfer
sukarela properti dari satu orang atau badan yang lain dibuat tanpa biaya
atau pertimbangan), atau A transfer of property with nothing
given inreturn” (sebuah pengalihan harta tanpa pengembalian)
Namun
demikian, jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 12 B Ayat
(1), maka selama pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya
maka pemberian tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Oleh
karenanya setiap pemberian seperti disinggung pada pembahasan tentang
gratifikasi, perlu dicermati latar belakangnya.
Sebagai
contoh pemberian hadiah yang bukan gratifikasi, adalah menerima oleh-oleh
(barang) dari saudara, atau tetangga yang tidak memiliki hubungan
pekerjaan/jabatan.
3.
Konflik Kepentingan
Seperti
yang tercantum pada buku saku memahami gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Tahun 2010, konflik kepentingan didefinisikan sebagai situasi
dimana seseorang Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan
berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki
kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga
dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Konflik kepentingan sendiri jika dicermati
merupakan sintom dari penerimaan gratifikasi. Beberapa
bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini
antara lain adalah:
1. Penerimaan gratifikasi dapat
membawa vested interest dan kewajiban
timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara
dapat terganggu;
2. Penerimaan gratifikasi dapat
mempengaruhi objektivitas dan penilaian profesional penyelenggara negara;
3.
Penerimaan gratifikasi dapat
digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi;
dan lain-lain.
Sebagai
contoh adanya konflik kepentingan yaitu, manakala panitia lelang menerima
gratifikasi yang cenderung mengarah pada suap atau pemerasan yang berakibat
adanya tindakan panitia lelang menjadi tidak obyektif dalam proses evaluasi.
4.
Pemerasan
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal
368 Pemerasan adalah
tindakan dengan maksud untuk
menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melanggar hukum. Memaksa orang
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan sesuatu
barangnya atau orang ketiga atau supaya dia mengutang atau menghapus piutang. Selanjutya dalam Pasal 368 ayat (2) KUHP
secara luas pemerasan adalah tindakan melawan hukum memaksa
seseorang dengan kekerasan atau pencurian yang didahului disertai kekerasan
atau ancaman kekerasan, baik diambil sendiri oleh tersangka maupun penyerahan
barang oleh korban.
Seperti telah disinggung pada bahasan sebelumnya, secara
sederhana gratifikasi yang diberikan, didasarkan atas permintaan adalah pemerasan.
Sebagai contoh: permintaan seorang auditor meminta uang
kepada audite dengan ancaman jika tidak dipenuhi akan mengungkapkan temuan yang
berindikasi kerugian negara atau permintaan uang kepada auditan dengan imbalan
merubah temuan kerugian negara menjadi temuan administratif.
5.
Suap
Kata suap dalam
kamus Inggris disebut bribe yang bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah ’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan).
Dalam Bahasa Latin disebut briba,
yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam
perkembangannya bribe bermakna
’sedekah’ (alms), ’blackmail’, atau ’extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence corruptly’
(pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi
secara jahat atau korup), Andryawal blocspot.com,
2011.
Pemaknaan suap sering dikaitkan dengan gratifikasi,
sehingga sering gratifikasi dianggap sebagai suap, lebih tepatnya gratifikasi
yang cenderung dilatarbelakangi oleh niatan pemberi untuk memperoleh
keuntungan.
Dalam beberapa literatur dan kamus hukum asing dijelaskan
pengertian suap (bribe), sebagai berikut :
a. Law dictionary. Bribe :
The gift or promise,
which is accepted, of some advantage, as the inducement for some illegal act or
omission; or of some illegal as the inducement for some illegal act
or omission; or of some illegal emolument, as a consideration, for preferring
one person to another, in the performance of illegal act.
Karunia atau janji, yang diterima, dari beberapa keuntungan, sebagai pancingan untuk beberapa tindakan ilegal atau kelalaian, atau beberapa ilegal sebagai
pancingan untuk beberapa tindakan ilegal atau kelalaian, atau beberapa honor ilegal,
sebagai pertimbangan, untuk lebih memilih satu
orang ke orang lain, dalam kinerja
tindakan ilegal
b.
Merriam-Webster's Dictionary of Law. Bribe:
“A benefit (as
money) given, promised, or offered in order to influence the judgement or conduct of a person in a
position of trust (as an official or witness)”
Keuntungan (seperti uang) yang
diberikan, dijanjikan, atau
ditawarkan untuk mempengaruhi keputusan
atau tindakan seseorang dalam posisi dapat dipercaya (saksi).
c.
Nolo’s Encyclopedia. Bribe :
“Official commits an
illegal act that interferes with the performance of his or her duties. For
example, an elected official who accepts a bribe in exchange for political
favors has committed malfeasance”
Pejabat melakukan perbuatan ilegal yang mengganggu kinerjanya
atau tugasnya. Misalnya,
seorang pejabat terpilih yang menerima
suap dengan imbalan bantuan politik telah
melakukan penyimpangan
d. Bouvier’s law dictionary. Bribery :
The receiving or
offering any undue reward by or to any personwhomsoever, whose ordinary
profession or business relates to the adminis-tration of public justice, in
order to influence his behaviour in office, and toincline him to act contrary
to his duty and the known rules of honesty and integrity.
Menerima atau menawarkan hadiah apapun
yang tidak semestinya oleh atau kepada siapapun orang,
yang biasa profesi
atau bisnis berkaitan dengan administrasi peradilan umum, untuk mempengaruhi perilaku di kantor, dan membuatnya cenderung bertindak bertentangan
dengan tugas dan aturan yang dikenal kejujuran dan integritas
LANGKAH-LANGKAH
MENGENALI GRATIFIKASI DAN BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN GRATIFIKASI YANG DITERIMA?
Pada bab sebelumnya, telah dibahas apa yang dimaksud
dengan gratifikasi, hadiah, suap, pemerasan dan konflik kepentingan. Pada penjelasan tersebut, terlihat
gratifikasi merupakan pintu terjadinya konflik kepentingan yang dapat
menjadikan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi berupa suap dan
pemerasan. Oleh karenanya berikut adalah
langkah-langkah yang dapat digunakan untuk mengenali sesuatu pemberian
merupakan gratifikasi atau bukan, sebelum sebuah organisasi memiliki standar
nilai atau kode etik yang disepakati.
Berikut adalah hal-hal yang perlu dicermati dalam
mengenali sebuah pemberian yang mengarah pada gratifikasi.
1.
Kenali atau ketahui latar
belakang/motif pemberian tersebut!
2.
Bagaimana cara pemberian
dilakukan? Pemberian yang dilakukan secara tidak terbuka dan diberikan hanya
kepada orang-orang tertentu, perlu diwaspadai.
Hal ini berbeda jika pemberian yang dilakukan kepada semua pihak sebagai
contoh pada kegiatan di hotel, dimana hotel memberikan suvenir kepada peserta kegiatan,
atau pemberian diskoun yang dilakukan oleh wara laba, hotel, dan sebagainya.
3.
Berapa nilai pemberian
tersebut? Pada kondisi ini pemberian yang berulang-ulang pada periode tertentu
dalam jumlah yang relatif kecil perlu dicermati.
4.
Siapa yang memberi? Dalam
kondisi ini pemberian yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan
setara, atau lebih rendah perlu dicermati! Sebagai contoh pemberian oleh
rekanan, bawahan kepada atasan, dan lain-lain
5.
Pelajari/cermati apakah
pihak pemberi memiliki hubungan dalam hal pekerjaan yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan?
Namun demikian, harus dipahami pula bahwa ada tiga sudut
penilaian atas penerimaan hadiah yang dapat menjadikannya sebagai gratifikasi,
yaitu dari penerima, pemberi, dan masyarakat.
Ketiga sudut penilaian tersebut dapat digambarkan dalam segi tiga
gratifikasi seperti di bawah ini.
Bagan 2. Segi
tiga penilaian gratifikasi.
Dari bagan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Jika seseorang menerima hadiah baik berbentuk barang atau uang, maka pertama
yang harus dilakukan adalah menilai dari sudut diri sendiri atau pribadi apakah barang tersebut
terkait dengan jabatan, akan mempengaruhi keputusan atau independensi
(menimbulkan conflict of interest),
diatur dalam kode etik, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, kemudian langkah berikutnya adalah kita harus mengetahui latar
belakang mengapa pemberi memberikan barang/uang tersebut kepada kita. Penilaian
dari sudut
pemberi relatif lebih sulit, tetapi penerima dapat menanyakan kepada
pemberi alasan yang bersangkutan memberikan barang/uang tersebut. Selanjutnya
langkah terakhir adalah menilai dari sudut masyarakat, yaitu apakah pemberian
tersebut menurut pandangan masyarakat adalah wajar, sebagai contoh: penerimaan
atas jasa pelayanan (uang tip), masyarakat yang melihatnya akan mengatakan itu
sebuah pungutan, yang berakibat pada diskriminasi pelayanan. Ketiga sudut penilaian ini harus terpenuhi,
meskipun suatu pemberian atau penerimaan dari sudut penilaian pribadi dan sudut
penilaian pemberi disimpulkan tidak ada unsur yang mengarah pada gratifikasi,
namun jika penilaian dari sudut pandang masyarakat dapat menimbulkan hal-hal
yang negatif maka penerimaan atau pemberian tersebut adalah ditolak.
Jika kita dapat mengenali pemberian yang dilakukan, kini
bagaimana kita memberlakukan pemberian yang telah kita terima, (meskipun
sebaiknya setiap pemberian yang diragukan apakah merupakan gratifikasi atau
tidak adalah “ditolak”).
Seperti dinyatakan pada Pasal 12 C ayat (1) dan (2), maka
gratifikasi yang diterima wajib dilaporkan guna menghilangkan unsur
pidananya. Jika sesuatu kementerian/lembaga
telah memiliki Unit Pengendali Gratifikasi (UPG), maka pelaporan dapat
dilakukan melalui UPG yang ada, tetapi jika belum maka pelaporan tentang
gratifikasi dilakukan langsung pada pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dengan cara mengisi formulir gratifikasi yang dapat diunduh dari web site KPK.
Berikut adalah formulir pelaporan gratifikasi yang di
unduh dari web site KPK.
Selanjutnya dalam waktu kurang dari 30 hari maka Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan status gratifikasi menjadi milik negara
atau menjadi milik penerima gratifikasi.
Dalam upaya menetapkan status gratifikasi, maka Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat mengundang penerima gratifikasi dalam rangka mengumpulkan
informasi lebih detail. Pada akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi
wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal ditetapkan.
BAGAIMANA
MEMBANGUN PROGRAM PENGENDALIAN
GRATIFIKASI?
Program pengendalian gratifikasi merupakan upaya
pencegahan tindak pidana korupsi melalui pengendalian gratifikasi. Melalui program pengendalian gratifikasi,
maka proses pelaporan gratifikasi dapat dilakukan melalui kementerian/lembaga
yang melaksanakannya. Beberapa kegiatan
yang perlu dilakukan dalam membangun program pengendalian gratifikasi adalah
sebagai berikut:
1.
Menyusun tata nilai/standar nilai
Tata nilai/standar nilai dalam organisasi, tidak lepas
dari upaya mewujudkan visi dan misi organisasi dan tana nilai suatu organisasi
adalah spesifik untuk organisasi tersebut. Bagi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sesuai dengan hasil penyusunan Renstra Jangka Panjang Kementerian Tahun
2005-2025, tata nilai terdiri dari imput
value dan proces value yang meliputi:
a. Imput Value (Staf) : amanah, profesional dan percaya diri, antusias dan bermotivasi tinggi, betanggung jawab, kreatif, disiplin, dan peduli
b. Proses Value (Kepemimpinan dan Manajemen): visioner dan berwawasan, menjadi teladan, memotivasi, mengilhami, memberdayakan, membudayakan, taat azas, koordinatif dan bersinergi
dalam kerangka kerja tim, dan akuntabel
Selanjutnya melalui proses identifikasi berbagai
aktifitas dalam organisasi yang terkait dengan tata nilai yang dibangun, maka
dapat disusun standar perilaku yang terdiri atas aktifitas, kriteria yang
menjelaskan standar nilai yang dapat ditolak atau diterima, serta hukuman atas
pelanggaran tata nilai tersebut.
2.
Menyusun Kode Etik
Kode Etik atau dalam Bahasa Inggris
disebut a code of etic atau code of condust, adalah suatu dokumen
formal yang mengatur perilaku yang diharapkan pada suatu organisasi dan orang
yang berkerja dalam organisasi tersebut.
Kode etik sangat diperlukan:
a.
Menentukan perilaku yang
diterima atau tidak.
b.
Mempromosikan standar yang
tinggi dari praktek atas perilaku
c.
Menyediakan patokan bagi
anggota dalam melakukan evaluasi diri.
d.
Membangun kerangka kerja
perilaku profesional dan bertanggung jawab.
e.
Sebagai kendaraan untuk
identitas pekerja
f.
Sebagai suatu tanda
kematangan/kedewasaan pekerja.
Selanjutnya
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun dan mengembangkan kode etik
adalah:
1) Libatkan karyawan dalam penyusunan kode etik, dapat
melalui perwakilan atau dengan metode uji publik.
2) Konsultasikan kode etik yang disusun dengan
pemangku kepentingan melalui proses “sanctioning”
3) Fokus pada praktek operasi/bisnis dan isu-isu
spesifik sebagai contoh: menghindari konflik kepentingan.
4) Mensosialisasikan atau melatihkan kode etik yang
disusun melalui seminar, pelatihan atau bentuk pertemuan lainnya.
5) Membangun kesadaran pelaporan pelanggaran etik
secara terbuka.
6) Menindaklanjuti setiap pelanggaran etika yang
ditemukan.
7)
Tidak ada
seseorangpun berada di atas kode etik, ini berarti kode etik diberlakukan untuk
semua orang dalam organisasi.
3.
Membangun Unit Pengendali Gratifikasi
Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) adalah unit yang
melaksanakan program pengendalian gratifikasi pada Kementerian/Lembaga. Sampai saat ini belum ada standar baku
terkait dengan pembentukan organisasi ini. Oleh karenanya dalam membentuk
organisasi ini perlu dipertimbangkan beberapa faktor, agar UPG dapat berperan
dan bekerja secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya.
Organisasi/struktur organisasi. Struktur yang terlalu rumit akan mempersulit
dan memperlambat kerja UPG, oleh karenanya struktur yang sederhana tetapi dapat
mewakili kepentingan tugas dan pekerjaan yang diperlukan sangat diharapkan. Ketua tim dengan beberapa anggota tim sebagai
tim UPG dan didukung sekretariat UPG merupakan struktur yang cukup optimal. Demikian
pula dengan posisi dimana UPG berada,
penempatan UPG di bawah langsung level ke dua dalam organisasi perlu
dipertimbangkan sehubungan dengan independensinya. Penempatan UPG di bawah pimpinan tertinggi
organisasi (bertanggungjawab langsung pada pimpinan tertinggi organisasi)
merupakan pilihan terbaik meskipun dalam kegiatan kesekretariatannya dapat ditempatkan pada level kedua atau ketiga
dalam organisasi.
Sumber Daya Manusia (SDM) UPG. Pemilihan, cara pemilihan, jumlah orang, dan
syarat orang yang menduduki jabatan dalam TIM UPG perlu diperhatikan dan
dirancang dengan cermat. Pemilihan
secara terbuka kepada yang berminat dengan syarat tertentu atau penunjukan oleh
pimpinan terhadap orang-orang yang memiliki syarat tertentu dapat
dilakukan. Namun demikian, perlu ada
syarat-syarat tertentu yang perlu ditetapkan untuk menjadi tim UPG agar tim
dapat bekerja secara baik. Beberapa
syarat yang mungkin dapat dipertimbangkan yaitu:
a. Memiliki integritas (integrity) yaitu
bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta
kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya. Dengan kata lain, “satunya
kata dengan perbuatan”. Mengkomunikasikan maksud, ide dan perasaan secara
terbuka, jujur dan langsung sekalipun dalam negosiasi yang sulit dengan pihak
lain. Indikator
terhadap kata integritas adalah: memahami dan mengenali perilaku sesuai dengan kode etik, melakukan
tindakan konsisten dengan nilai dan keyakinannya, bertindak berdasarkan nilai
meskipun sulit untuk melakukannya, dan bertindak berdasarkan nilai (values) walaupun ada resiko atau biaya yang cukup besar.
b. Tidak memiliki jabatan
rangkap (tidak sedang memimpin jabatan
struktural atau jabatan tambahan lain).
c.
Tidak pernah memperoleh
hukuman sedang s.d berat sesuai dengan Peraturan Kepegawaian yang berlaku.
d.
Dan lain-lain
Sedangkan jumlah personil dalam suatu tim UPG hendaknya
ganjil sehingga dalam pengambilan keputusan lebih mudah dan jumlahnya
disesuaikan dengan besaran organisasi yang dikelola.
Mekanisme kerja. Mekanisme kerja terkait dengan mekanisme
pelaporan gratifikasi yang dilakukan melalui UPG, telah ditetapkan oleh
KPK. Meskipun demikian mekanisme kerja
terkait dengan pelaporan gratifikasi tersebut perlu di dokumentasikan dalam
bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP).
Demikian pula dengan mekanisme kerja di dalam internal tim UPG dan
hubungannya dengan kesekretariatan perlu disusun SOP nya, mengingat hal ini
dapat menjadi pegangan dan melindungi tim UPG dalam bekerja.
Fasilitas UPG dan Pembiayaan. Fasilitas UPG merupakan salah satu faktor
penting dalam menunjang pelaksanaan operasional UPG. Fasilitas bagi bagian
kesekretariatan UPG adalah penting, meliputi ruang ketatausahan, ruang rapat
dan fasilitas informasi teknologi (IT).
Sedangkan untuk pembiayaan, perlu ada pos khusus dalam jumlah yang memadai
untuk dapat digunakan dalam kegiatan operasional dan pengembangan UPG.
4.
Mengoperasionalkan Program Pengendalian
Gratifikasi
Kegiatan operasional program pengendalian gratifikasi, tidak
hanya merupakan kegiatan melaporkan penerimaan gratifikasi kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi, tetapi yang lebih penting adalah melakukan
kegiatan-kegiatan mensosialisasikan standar etik atau kode etik yang menjadi
kesepakatan dalam organisasi.
Melalui kegiatan seminar, lokakarya, atau pelatihan, maka
standar perilaku dan etika yang telah ditetapkan dan disepakati dalam buku kode
etik disosialisasikan. Di samping itu
perlu diupayakan membangun munculnya kesadaran setiap karyawan/pegawai
melaporkan atas pelanggaran etika yang terjadi, dan tindak lanjutnya dapat
segera dilaksanakan tanpa pandang bulu.
5.
Melakukan evaluasi berkesinambungan
Evaluasi atas kegiatan UPG merupakan kegiatan penting
guna mengukur tingkat keberhasilan program UPG yang dilakukan dalam sebuah
kementerian/lembaga. Evaluasi tengah
tahun dan akhir tahun lazim dilakukan dalam sebuah organisasi. Lebih jauh evaluasi juga dilakukan untuk
mengukur tingkat kesadaran pegawai dalam pelaporan dan pengendalian atas
gratifikasi.
Guna mendukung kegiatan ini, maka tool/perangkat evaluasi
perlu dibuat dengan baik agar dapat menjaring data-data yang diperlukan.
Perangkat evaluasi yang tidak valid dapat mengacaukan pengambilan kesimpulan.
6.
Melakukan pengembangan Program Pengendalian
Gratifikasi
Sebagai organisasi yang dinamis, maka UPG tidak hanya
melakukan pekerjaan rutinitas saja, tetapi perlu terus menerus mengembangkan
diri ke arah yang lebih baik.
Pengembangan sistem pelaporan gratifikasi atau
pelanggaran atas kode etik perlu terus menerus dikembangkan. Pelaporan yang
mudah dan cepat dengan mengembangkannya melalui informasi dan teknologi merupakan
pilihan yang baik.
Upaya membangun motor penggerak integritas juga merupakan
langkah yang baik guna memacu tumbuhnya integritas dalam setiap pegawai.
Di samping bentuk pengembangan tersebut di atas, maka
bentuk kegiatan dalam upaya peningkatan peran dan fungsi UPG, perlu terus
dilakukan melalui tim pengembang UPG.
BENTUK
PEMBERIAN
YANG PERLU
DICERMATI MERUPAKAN
GRATIFIKASI
ATAU BUKAN
Sesuatu pemberian merupakan gratifikasi atau bukan sangat
ditentukan dengan latar belakang pemberiannya.
Namun demikian menyatakan bahwa pemberian merupakan gratifikasi atau
bukan juga didasarkan pada standar nilai yang dibangun dalam sebuah
organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa
suatu gratifikasi pada organisasi/lembaga tertentu belum tentu juga merupakan
gratifikasi lembaga lainnya. Pada
kondisi ini sebagai contoh: menerima honor sebagai nara sumber merupakan
gratifikasi bagi organisasi/lembaga “A” (karena single budget), tetapi dengan kondisi diterima sesuai Standar Biaya
Umum adalah bukan gratifikasi.
Landasan untuk menentukan suatu pemberian atau penerimaan
dikategorikan gratifikasi atau bukan pada umumnya adalah:
1.
Tidak bertentangan dengan
tugas dan kewajiban.
2.
Tidak melanggar jabatan.
3.
Kegiatan memang
ada/terjadi.
4.
Tidak melanggar Standar
Biaya Umum.
5.
Tidak melanggar kode etik.
Berikut, beberapa bentuk penerimaan di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang perlu dipertimbangkan apakah gratifikasi atau
bukan, atau bahkan mengarah pada suap dan pemerasan.
NO
|
BENTUK PEMBERIAN/PENERIMAAN
|
STATUS/
PENGECUALIAN
|
1
|
2
|
3
|
1.
|
Pemberian oleh-oleh dari daerah atau luar negeri dari
bawahan kepada atasan
|
Dibatasi
dalam nilai tertentu
|
2.
|
Pemberian buah-buahan atau karangan bunga dari bawahan
kepada atasan ketika sakit, atau menduduki jabatan tertentu.
|
Dibatasi
dalam nilai tertentu
|
3.
|
Pemberian uang ucapan terima kasih dari audite atau
unit kerja yang dimonitor/dipantau
|
Tidak
ada pengecualian mrpk Gratifikasi/suap
|
4.
|
Penggunaan fasilitas dinas di daerah, baik untuk
transportasi atau penginapan
|
Untuk
transpor dalam jam kerja dimungkinkan, sedangkan penginapan membayar sesuai
dengan tarif.
|
5.
|
Menerima
honor sebagai nara sumber atau honor rapat
|
Dapat
diterima selama sesuai dengan Standar Biaya Umum
|
6.
|
Uang
yang diberikan oleh rekanan baik sebelum maupun sesudah lelang
|
Tidak
ada pengecualian, mrpk Gratifikasi
|
7.
|
Barang
yang diberikan oleh pihak ke tiga atas transaksi yang dilakukan
|
Digunakan
untuk kepentingan organisasi
|
8.
|
Pemberian
tiket pesawat atau pembayaran hotel oleh audite atau unit kerja yang
dipantau/dimonev
|
Tidak
ada pengecualian, mrpk Gratifikasi
|
9.
|
Pemberian
uang, fasilitas hotel, tiket pesawat atas dasar permintaan
|
Gratifikasi
yang mengarah pada pemerasan/suap
|
10.
|
Penerimaan
oleh-oleh dari tetangga yang memiliki hubungan pekerjaan/jabatan
|
Dibatasi
dalam nilai tertentu
|
11.
|
Pengobatan
Cuma-cuma
|
Dibatasi
pada poliklinik (askes)
|
12.
|
Pemberian
kado perkawinan/ulang tahun oleh rekanan atau bawahan atau rekan kerja yang
memiliki hubungan kerja
|
Dibatasi
dalam nilai tertentu
|
13.
|
Penerimaan
uang atas pelayanan: perijinan, penyesuaian ijasah luar negeri, dan lain-lain
sejenis
|
Merupakan
gratifikasi kecuali telah ditetapkan tarifnya
|
14.
|
Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai negeri pada saat
kunjungankerja
|
Gratifikasi,
kecuali ditetapkan dalam nilai tertentu
|
15.
|
Pemberian
kendaraan bermotor tanda perkenalan jabatan baru
|
Gratifikasi
|
16.
|
Fasilitas
wisata (hotel, transportasi/tiket) dari rekanan kepada keluarga
|
Gratifikasi
|
17.
|
Penerimaan
hadiah atas prestasi dalam kegiatan di kantor
|
Bukan
gratifikasi, dapat diterima
|
18.
|
Door
price/hadiah dalam suatu kegiatan
|
Bukan
gratifikasi, dapat diterima
|
19.
|
Plakat,
vandel, souvenir, goody dari panitia seminar, lokakarya, workshop, dan
lain-lain
|
Bukan
gratifikasi, dapat diterima
|
20.
|
Diskon
komersial yang berlaku umum
|
Bukan
gratifikasi, dapat diterima
|
21.
|
Kompensasi
atas profesi sebagai contoh royalti, dan sebagainya
|
Bukan
gratifikasi, dapat dinikmati
|
22.
|
Keuntungan
yang berlaku umum atas penempatan dana seperti bunga bank, deposito, saham,
dll
|
Bukan
gratifikasi
|
23.
|
Makanan
dan minuman siap saji yang berlaku umum dalam kedinasan
|
Bukan
gratifikasi
|
24.
|
Makan
malam, karaoke, dan hiburan sejenis yang dibiayai audite atau satuan kerja
yang dimonitor/dipantau/dikunjungi
|
Gratifikasi
|
25.
|
Dan
lain-lain
|
|
RUJUKAN
1.
Andryawal S. 2011. Pengertian Suap dan
Tindak Pidananya. Andryawal.blocspot.com
2.
Buku Saku Memahami Gratifikasi, tahun
2010, Komisi Pemberantasan Korupsi.
3.
Creating Code of Etic, B
Corporation net, tahun 2007
4.
Gift-The 'Lectric Law Library's Lexicon,
lectlaw.com
5.
Gift-Duhaime Dictionary,
duhaime.org
6.
Gratification-Law dictionary,
law-dictionary.org
7.
Gift-Merriam-Webster's
Dictionary of Law, Merriam-Webster Incorporated,1996
8.
Gratification-Bouvier’s
Law Dictionary, www.constitution.org
9.
Gratification-Black’s
Law Dictionary
10.
Indriyanto Senoadji,
Masalah Korupsi di Indonesia, jodisantoso.blogspot.com, 11
Juli 2007.
11.
Lambok H.Hutaruk, Gratifikasi dan Anti Korupsi, disampaikan pada Workshop
on Business Ethics “Managing Ethical Dilemma on
Facilitating Payments”, Jakarta, 30 Januari 2007.
12.
Notulen Hasil Workshop Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Kementerian Pendidikan Nasional, Hotel Park, Jakarta,
tahun 2012.
13.
Pedoman Konflik Kepentingan/Conflic of
Interest (COI), Pertamina, tahun 2009.
14.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001,
tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar